Disebutkan sebelumnya, meski berbobot berat, batu-batu itu dapat
berpindah tempat di danau kering Racetrack Playa. Bahkan meninggalkan
jejak dalam di lumpur kering itu.
Orang-orang semakin dibuat
penasaran karena jejak yang dihasilkan bermacam-macam. Ada yang
membentuk kurva sepanjang 250 meter, ada juga yang menciptakan garis
lurus.
Sementara ini hipotesa yang berkembang adalah, debu yang
memindahkan batu-batu seberat ratusan kilogram tersebut. Sementara
peneliti lain percaya, angin kencang yang melintasi danaulah penyebab
batu meluncur di tanah. Tapi tak ada satu pun dari teori itu yang
memiliki penjelasan ilmiah.
Pada 2006, Ralph Lorenz, ilmuwan NASA menyelidiki kondisi cuaca di
Saturnus dan kemudian membandingkannya dengan yang terjadi di Death
Valley itu. Lorenz pun mengambil sampel Ontario Lacus, danau hidrokarbon
yang luas di Titan, salah satu satelit Saturnus.
Kemudian ia bandingkan
dengan kondisi meteorologi Death Valley. Lorenz lalu membuat model
percobaan menggunakan wadah Tupperware. Model itu untuk melihat
bagaimana bebatuan Death Valley meluncur di permukaan danau.
"Saya
mengambil batu kecil dan memasukkannya dalam Tupperware itu serta
mengisinya dengan air. Sehingga ada satu inci air dengan sedikit batu
mencuat," kata Lorenz.
Setelah meletakkan wadah di dalam kotak
pendingin atau freezer di lemari es, terbentuklah batu kecil yang
tertanam di dalam lapisan es. Batu yang terikat lapisan es tipis itu ia
letakkan di atas lapisan pasir. Lalu Lorenz meniup batu dengan lembut,
supaya bergerak di air. Ketika batu bergerak, maka tergoreslah jejak di
lapisan pasir.
Tim peneliti Lorenz menghitung, dalam kondisi
musim dingin di Death Valley, kadar air dan es bisa membuat batuan
terapung di atas bagian berlumpur. Dan angin sepoi-sepoi dapat
menggerakkan bebatuan itu hingga meninggalkan jejak di lumpur.
by apakabardunia
0 comments:
Post a Comment