Saat melakukan survey semesteran terhadap populasi kelelawar, Al Hicks, peneliti spesialis kehidupan liar dari New York State Department of Environmental Conservation dan timnya menemukan kematian massal di sebuah gua, di kawasan Albany, New York.
Padahal, di gua yang sama, dua tahun lalu terdapat koloni besar kelelawar yang terus berkembang. Ketika disurvey, ribuan kelelawar ditemukan mati di lantai gua. Tubuh mereka diliputi bintik-bintik putih yang mencurigakan. Khususnya di sekitar hidung.
“Kami belum pernah mendengar hal seperti ini,” kata Hicks, seperti dikutip dari Discovermagazine, 11 Januari 2010. “Kelelawar kini menjadi hewan lain yang mengalami penurunan populasi yang mendadak dan misterius,” ucapnya.
Pengamat kelelawar lain yang melihat korban di gua tersebut juga terkesima. Di kurun waktu yang sama, beberapa pemelihara lebah juga melaporkan menghilangnya koloni hewan tersebut.
Tahun 2004 lalu, International Union for the Conservation of Nature (IUCN) menyatakan, sepertiga spesies amphibi di dunia terancam punah. Penelitian lebih lanjut juga menemukan bahwa dari 17 spesies ular di tiga benua di dunia, diketahui bahwa 11 di antaranya mengalami penurunan populasi secara pesat.
Banyak hal yang diperkirakan menjadi faktor penyebabnya, mulai dari kehilangan habitat, polusi, sampai pemanasan global. Akan tetapi, sama seperti hewan lain dan kelelawar, penyakit tertentu diduga kuat sebagai penyebab utamanya.
Bintik putih pada kelelawar menjadi petunjuk awal. Setelah mengirim beberapa bangkai ke sejumlah lab di Amerika Serikat, David Blehert, mikrobiolog dari National Wildlife Health Center menemukan bahwa Geomyces destructans, sebangsa jamur yang umumnya hanya memakan bangkai kini telah menyerang makhluk hidup.
“Jamur ini tak mampu mengenali perbedaan antara bangkai dan makhluk hidup,” kata Blehert. “Saat kelelawar istirahat, suhu tubuh mereka anjlok dan kemudian jamur itu mulai memakannya,” sebutnya.
Hasil penelitian ini menjelaskan temuan Hicks mengapa hanya kelelawar yang istirahat saja yang diserang. Kelelawar yang tetap terjaga tidak terkena dampak sindrom hidung putih tersebut. Jamur ini hadir di mana kematian hewan akibat sindrom hidung putih terjadi dan penyebarannya terus meluas.
Secara total, jumlah kematian akibat jamur telah mencapai jutaan hewan. Menurut US Fish and Wildlife Service, sindrom hidung putih merupakan krisis kesehatan terparah yang pernah tercatat yang menimpa kehidupan liar.
Masalah utama yang dihadapi kelelawar adalah, berhubung para betina hanya melahirkan satu anak setiap tahun, populasinya akan terancam dalam beberapa waktu ke depan.
Masalah yang dihadapi manusia, jika jumlah populasi kelelawar liar anjlok, maka spesies lain akan meraih keuntungan. Sebagai informasi, seekor kelelawar dapat mengonsumsi hingga 600 ekor nyamuk per jam. Jika populasi kelelawar menyusut dan nyamuk membludak, masalah akan timbul bagi manusia.
Kini para pengamat lingkungan hidup sedang berusaha mengidentifikasi dan memahami lebih lanjut seputar patogen tersebut dan menguji coba sejumlah cara untuk melindungi hewan-hewan liar yang masih sehat. (sj)• VIVAnews
0 comments:
Post a Comment